Musholla Asy-Syafiah – Kelapa Koja – Tegal Bunder

Seorang ibu yang bernama “Syafi’ah” dengan pandangan futuristiknya menitipkan (baca: mewakafkan) sebidang tanah miliknya untuk dijadikan tempat ibadah bernama ‘MUSHOLLA”. Mungkin Ibu ini sangat mengerti, bahwa salah satu amalan yang tidak akan terputus pahalanya adalah membangun rumah Allah di Bumi. Ya…sebidang tanah sekitar 200-an meter persegi yang terletak di koordinat -5,980702, 106,059402 (google map) yang beralamat di Blok Kelapa Koja – Jln. Tegal Bunder RT.02/01 Link. Kubang Lampit – Kelurahan Tegal Bunder – Purwakarta – Cilegon. Mungkin Ibu ini melihat bahwa di Blok Kelapa Koja, memiliki letak geografis yang relatif jauh dari Mesjid di Lingkungan tersebut.

Ada sebagian candaan beberapa warga   yg menyebutkan bahwa karakter warga-warganya di’juluki’ dengan karakter “Yahudi-Bani Israil”. Bahkan, ada warga kampung menjuluki blok Kelapa Koja sebagai “tanah Bani Israil”.  Nah…Berbicara ttg karakter “Yahudi” atau “Bani Israil” di Kelapa Koja, ada warga yg bicara: “bisa dikatakan ada benarnya. Mengapa?” Lanjutnya…Karena memang rada-rada mirip…misalnya, katanya…ada keluarga yang kerjaannya bertengkar hampir setiap hari, istri dan anak dipukul oleh suami seperti memukul penjahat kelas kakap dan sudah bisa dipastikan kalau tidak ditolong tetangga, maka bisa dipastikan harus dibw ke rumah sakit; belum lagi perabotan dapur yang dilempar dan hancur sebagai obyek kemarahan, dll, pokoknya karakter ” Yahudi sadis” seperti di Palestina sana; lebih lanjut warga ini mengatakan…ada juga karakter “Yahudi Malas/enggan”, ngaku banyak kerjaan di siang hari bahkan memiliki anak buah lebih dari 20 di proyek, Eh..giliran gotong royong Musholla di malam hari malah alasan sakit-lah, kecapean lah, dll…

Ada lagi warga lain yg menyebut karakter “Yahudi mencari uang”, mencontohkan ada oknum yg minta persen dari sopir yang mengantar pasir/batu untuk mosholla… masyaAllah…astagfirullah…

Sementara itu, ada warga yg tdk mau disebut namanya menyebutkan: “Ada lagi karakter “Yahudi Kiyai”…pengennya tampil & jadi Imam terus; jika orang lain yang jadi imam, salah sedikit ditegor..kurang jumlah baca Qulhu-lah..yg harusnya 10 x saat wirid setelah sholat fardhu menurut Kyai ini, kurang “wamaa adra kamaa lailatul qadri”-lah…kurang ini & kurang itu-lah..pengennya tampil-terus…datangnya pas mau qomat…ga pernah datang lebih dahulu untuk bersih2..sama sekali ga pernah nyapu atau ngepel mushola seperti jamaah lainnya; padahal, kalau sang “Kiyai” ini jadi imam..umpamanya orang nyanyi…Fals-nya ga ketulungan….mana makharijul huruf-nya berantakan…!!! Banyak jamaah yang ngeluh ‘ngantuk” dan “suara imam ngga kedengaran”…dan yang MENARIK, semua kerjaan-kerjaan tukang di Mushola dikomentarin..kurang ini-lah…kurang itu-lah…harus-nya beginilah…kenapa harus begitu-lah…dll…(kata beberapa jamaah, satu sen pun ga punya kontribusi untuk membawa sumbangan dari luar untuk musholla); dan HEBAT-nya ngga ngerasa kalau sang Kiyai ini “kurang disukai” oleh jama’ah…kalau istilah wong kene..”SEBODOO….MAJU BAE…”

Warga lainnya mencontohkan juga karakter lain: “Ada juga karakter “Yahudi Mutung”…hayoo apa…? Lanjutnya…Nah, yang ini beda…lanjut warga ini…karakter ini, dia seumur hidup ga akan ke mushola kalau masih ada “rival/musuh”-nya yang sholat di Musholla…jadi cerita-nya 2 keluarga musuhan sejak dahulu, keluarga yang satu “rajin” ke musholla…karena yang rajin ini musuh-nya; maka ga mau ke mushola.

Inti-nya dari pengakuan warga2 memang karakter orang2 yang berada di daerah “Musholla” rada-rada mirip “Yahudi”….maka-nya ada yang nyeletuk: “setan-setan di Kulon pindah ke Wetan dan sekarang setan-setan itu lagi pada bikin Musholla’…hehehehehe….!

 

Proses “Hijrah”..,.

Alhamdulillah…sekarang…setelah mushola dibangun dg gotong royong semua warga & bantuan dr pihak luar (salah satunya: Alumni-alumni Mt’96 FTUI), terjadi proses perubahan kearah yg membahagiakan dan membuat hati terharu…jamaah yg sholat membludak penuh, sampai ada jamaah yg terpaksa pulang lg karena tdk dapat tempat saking penuhnya. Pengajian anak-anak setiap hari dan dipandu oleh Ustadz lokal yg “sederhana dan ikhlas”, dimn pada saat yg sama TPA lain, mereka meliburkan pada bln puasa). Ada warga yg mengaku jarang sholat, namun sekarang tidak mau lg meninggalkan sholat dan berkomitmen selalu sholat di mushola.

(Bersambung)

anak-anak yang sedang belajar Al-Quran untuk masa depan yang lebih baik

Anak-anak yang sedang belajar Al-Quran untuk masa depan yang lebih baik

 

Semoga menjadi anak yang Shiddiqin, Syuhada, dan Sholihin

Semoga menjadi anak yang Shiddiqin, Syuhada, dan Sholihin

 

Walau pun orang tua gas Sekolah, tapi tetap semangat belajar Al-Quran

Walau pun orang tua gas Sekolah, tapi tetap semangat belajar Al-Quran

 

Sy harus lebih baik dari orang tua; Alhamdulillah sekarang subuh saya bangunkan Bapak utk sholat di Musholla...yang sebelum ada mushola jarang sholat...apalagi sholat shubuh

Sy harus lebih baik dari orang tua; Alhamdulillah sekarang subuh saya bangunkan Bapak utk sholat di Musholla…yang sebelum ada mushola, jarang sholat…apalagi sholat shubuh

 

Sy tidak mau kalah dengan anak yg lanang

Sy tidak mau kalah dengan anak yg lanang

 

sy juga ga mau ketinggalan....

sy juga ga mau ketinggalan….

 

Formulir Pendaftaran Karantina Tahfidz Quran (KTQ) Gel.-2

Berikut formulir pendaftaran Karantina Tahfidz Quran (KTQ) yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu – Minggu, 19 – 20 September 2015 di Mesjid As-Salam Komp. Krakatau Steel – Cilegon Banten.

File pdf, silahkan Klik formulir pendaftaran karantina tahfidz quran (gel-2) ; Untuk file.doc silahkan klik: formulir pendaftaran karantina tahfidz quran (gel-2)

“KARANTINA 2 HARI MENGHAFAL AL QURAN TARGET HAFALAN 1 s.d. 2 JUZ “ (Dzulhijah 1436 H / 19 – 20 September 2015)

image

“KARANTINA 2 HARI MENGHAFAL AL QURAN – GELOMBANG KE-2

(MUSLIM/IKHWAN & MUSLIMAT/AKHWAT)”

TARGET HAFALAN JUZ 29 – 30 ATAU JUZ 1 – 2

LOKASI: MESJID AS-SALAM – KOMP. KRAKATAU STEEL – CILEGON, BANTEN

Spesial Dzulhijah 1436 H (19 – 20 September 2015) !!!

Bismillahirrahmanirrahim…

Maukah Anda menjadi bagian dari barisan para penghafal Al Quran yang merupakan Ahlullah dan orang-orang kekhususan Allah ?

Maukah Anda menjadi bagian dari barisan para penjaga Kitab Allah ?

Maukah Anda menjadi hamba Allah yang menjadikan Al-Quran sebagai Sahabatnya ?

Maka Lembaga Karantina Tahfihz Al Qur’an  (KTQ) Cilegon menggelar event akbar :

“KARANTINA 2 HARI MENGHAFAL AL QURAN – CILEGON, BANTEN  – (JUZ  29 – 30 atau JUZ 1 – 2 )”

Segera Daftarkanlah diri dan keluarga Anda dalam program akselerasi Menghafal Al Qur’an bersama  KTQ (Karantina  Tahfiz Quran)  lembaga yang insyaAllah  membantu  dalam  menghafal Al Qur’an.

#Pendaftaran : 08 Agustus – 12 September 2015

#Test dan Audisi : 13 September 2015

#Pembukaan & Pembekalah : 18 September 2015 pkl. 20.00 WIB (Ba’da Sholat Isya’)

#Daftar Ulang : 14 – 18 September 2015

#Karantina : 19  – 20 September 2015

#Penutupan : 20 September 2015 pk. 20.00 WIB

Syarat-Syarat Peserta Karantina Tahfidz Al-Qur’an (KTQ)

  1. Muslim Pria (Ikhwan) / Wanita (Akhwat) Usia 13 tahun ke atas
  2. Membayar formulir sebesar Rp 50.000,-
  3. Mengisi formulir dan persetujuan Orang Tua / Wali
  4. Memiliki hafalan surat-surat pendek di Juz 30 (Juz ‘Amma)
  5. Mengikuti Test/Seleksi/Audisi Penempatan
  6. Melunasi biaya karantina sebesar Rp 250.000, setelah mengikuti test/seleksi/Audisi
  7. Siap dikarantina selama 2 Hari
  8. Pengembalian Formulir Pendaftaran paling lambat 1 hari sebelum test/seleksi/audisi 1 di Sekretariat acara / Tempat Audisi / via email
  9. Masuk Karantina Insya Allah pada Tanggal 19 s.d. 20 September 2015; pembukaan Jumat, 18 September 2015 pkl. 20.00 WIB (Ba’da Isya) di Mesjid As-Salam – Komp. Krakatau Steel – Kota Cilegon.
  10. Bagi peserta yang telah mengikuti audisi namun tidak hadir pada tanggal 19-20 September 2015 maka dinyatakan gugur.
  11. Melampirkan surat keterangan sehat dari Dokter (jika dibutuhkan)
  12. Jika ada yang kurang dipahami silahkan hubungi kontak berikut :

08179848774 an. Ust. Ahmad Darojat;

087880449149; 081314036547; 08111230555 an. Pak Fitrullah;

WA: 087880449149; dan 08111230555

Pin BB: 56C56116; atau 7D89CBE1

#Investasi:

Pendaftaran :50.000

Karantina 2 hari : Rp.250rb  (penginapan, konsumsi, Ust. Pembimbing, Sertifikat, dll)

“Dan Sungguh Telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk dihafalkan maka adakah yang mau menghafalkannya ” (QS.Al Qamar:17,22,32,40)

Info dan Pendaftaran :

Ikhwan/Akhwat :

08179848774 an. Ust. Ahmad Darojat;

087880449149; 081314036547; 08111230555 an. Pak Fitrullah;

WA: 087880449149; dan 08111230555

Pin BB: 56C56116; atau 7D89CBE1

Formulir Pendaftaran & Penyerahan Formulir Pendaftaran:

Unduh formulir pendaftaran: di website: https://metalurgimitun.wordpress.com

Pembayaran Investasi: Rek. BNI Syariah, No. 0343317768 a.n. Darojat;

atau Langsung pada saat penyerahan formulir ke: Ust. Darojat di Mesjid As-Salam Komp. KS – Cilegon

atau email bukti transfer/sms banking ke: karantina.tahfidzalquran@gmail.com

atau SMS pendaftaran dengan ketiK: DAFTAR(SPASI)NAMA(SPASI)ALAMAT kirim ke: 08179848774; 08111230555; 081314036547; dan 087880449149

Didukung oleh :

  1. DKM As-Salam Perum PT. KS. Tbk
  2. Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Cilegon, Banten
  3. DKM Al-Mutaallimin Fakultas Teknik – Univ. Sultan Ageng Tirtayasa, Banten
  4. Lembaga KTQ – Cilegon, Banten

Wassalamu’alaikum

Panitia KTQ

Materi Pembekalan Karantina Tahfidz Al-Quran (KTQ) 3-5 Juli 2015 Mesjid As-Salam Komp. KS – Cilegon – Banten

Berikut ini materi sederhana, sebelum Karantina Tahfidz Al-Quran; Materi berisi beberapa motivasi dalam menghafal AL-Quran; semoga bisa bermanfaat. (Materi ini di-sunting dari berbagai sumber, mohon maaf tidak mencantumkan sumber referensi…oleh karena itu…mohon berkenannya..mudah2an Allah swt, membalas kebaikan Anda semua dengan mendapatkan rahmat dan magfirah-Nya)

Silahkan klik: KTQ PRESENTASI (02 JULI 2015)

Rundown Jadwal Karantina Tahfidz Quran (KTQ) – Cilegon (3 – 5 Juli 2015) Target Juz 30, 29, & 28

Berikut ini adalah rundown acara Karantina Tahfidz AL-Quran yang dilaksanakan di Mesjid As-Salam, Komp. Krakatau Steel – Cilegon Banten. Pada tanggal 3 – 5 Juli 2015.

Silahkan klik : RUNDOWN JADWAL HARIAN KTQ – CILEGON – BANTEN

“KARANTINA 3 HARI MENGHAFAL AL QURAN TARGET HAFALAN 3 JUZ (Ramadhan 1436 H / 3-5 Juli 2015)

“KARANTINA 3 HARI MENGHAFAL AL QURAN – CILEGON, BANTEN  (MUSLIM/IKHWAN)”

TARGET HAFALAN JUZ 28 – 29 – 30

LOKASI: MESJID AS-SALAM – KOMP. KRAKATAU STEEL – CILEGON, BANTEN

Spesial Ramadhan 1436 H (3 – 5 Juli 2015) !!!

PRIOUT

Bismillahirrahmanirrahim…

Maukah Anda menjadi bagian dari barisan para penghafal Al Quran yang merupakan Ahlullah dan orang-orang kekhususan Allah ?

Maukah Anda menjadi bagian dari barisan para penjaga agama Allah ?

Dan  Maukah Anda menjadi bagian dari barisan para penjaga Kitabullah ?

Jangan biarkan impian & cita-cita Anda berlalu begitu saja.Wujudkan segera sebelum ajal mendahuluinya.

Maka Lembaga Karantina Tahfihz Al Qur’an  (KTQ) Cilegon menggelar event akbar :

“KARANTINA 3 HARI MENGHAFAL AL QURAN – CILEGON, BANTEN  – (JUZ 28, 29, & 30)”

Segera Daftarkanlah diri dan keluarga Anda dalam program akselerasi Menghafal Al Qur’an bersama  KTQ (Karantina  Tahfiz Quran)  lembaga yang insyaAllah  membantu  dalam  menghafal Al Qur’an.

#Pendaftaran : 15 – 26 Juni 2015

#Test dan Audisi : 27-28 Juni 2015

#Pengumuman : 28 Juni 2015

#Daftar Ulang : 29 Juni – 2 Juli 2015

#Orientasi & pembukaan : 2 Juli  2015 (pkl. 21.00 – 22.30 WIB)

#Karantina : 3  – 5 Juli 2015

#Penutupan : 5 Juli 2015

#Persyaratan :

1.Muslim Pria (Ikhwan) semua usia

2.Lancar membaca Al Qur’an sesuai kaidah tajwid

3.Memiliki hafalan  surat-surat pendek pada juz 30

5.Siap dikarantina selama 3 hari

6.Sehat jasmani & rohani

#Investasi:

Pendaftaran :50.000

Karantina 3 hari : Rp.250rb  (penginapan, konsumsi, Ust. Pembimbing, Sertifikat, dll)

“Dan Sungguh Telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk dihafalkan maka adakah yang mau menghafalkannya ” (QS.Al Qamar:17,22,32,40)

Info dan Pendaftaran :

Ikhwah :

  1. Ahmad Darojat : 08179848774
  2. Fitrullah: 087880449149; 081314036547;
  3. WA/SMS; 08111230555
    BBM: 7D89CBE1

Formulir Pendaftaran & Penyerahan Formulir Pendaftaran:

Unduh formulir pendaftaran: klik formulir pendaftaran karantina tahfidz quran

Pembayaran Investasi: Rek. BNI Syariah, No. 0343317768 a.n. Darojat;

atau Langsung pada saat penyerahan formulir ke: Ust. Darojat di Mesjid As-Salam Komp. KS – Cilegon

atau email bukti transfer/sms banking ke: karantina.tahfidzalquran@gmail.com

atau SMS pendaftaran dengan ketiK: DAFTAR(SPASI)NAMA(SPASI)ALAMAT kirim ke: 08179848774; 08111230555

Didukung oleh :

  1. DKM As-Salam Perum PT. KS. Tbk
  2. DKM Al-Mutaallimin Fakultas Teknik – Univ. Sultan Ageng Tirtayasa, Banten
  3. Lembaga KTQ – Cilegon, Banten
  4. PCM Purwakarta – CIlegon

Wassalamu’alaikum

Panitia

Bahan Kuliah ke-1 Material Komposit

Berikut bahan kuliah dari MK Material Komposit hasil suntingan dari berbagai sumber:

Kuliah ke-1: 01_Pengantar Kuliah Material Komposit

Silabus MK Material Komposit (Composite Material Syllabus)

Topik:
1. Pengantar Umum
a. macam-macam komposit,
b. disain material komposit,
c. konsep transfer beban pada material komposit
2. Fiber & Matrices
a. Reinforcements (Bahan Pengisi/penguat): Carbon Fibres, Glass Fibres, Organic Fibres, Silicon Carbide, Alumina and Aluminosilicates
a. Kekuatan dari Reinforcement: Stabilitas Thermal, Compressive Strength, Fibre Fracture and flexibility, a statistical treatment of fibre strength
b. Matrices: Polimer Matrices, Metal Matrices, Ceramic matrices
3. Arsitektur Fibre
a. General Considerations: Volume Fraction & weight fraction, fibre packing arrangements, clustering of fibres and particles.
b. Long Fibres: laminates, Woven, Braided, Knitted fibre arrays, characterisation of fibre orientation in a plane.
c. Short Fibres: distribusi orientasi fibre dalam tiga dimensi, distribusi panjang fibre.
d. Voids
e. Orientasi fiber selama prosessing.
4. Deformasi elastis pada Long-Fibre-Composite
a. Axial stiffness
b. Transverse stiffness
c. Shear stiffness
d. Poisson contraction effect.
5. Deformasi elastis pada Komposit Laminat
a. Deformasi elastis pada material anisotropik: Hooke’s law, Effect of Symmetry
b. Off-axis elastic constant pada laminated: calculation procedure, engineering constants.
c. Deformasi elastis pada laminat: loading of stack od plies, predicted behaviour
d. Tegangan & Distorsi: balanced laminates, stresses in individual plies of a laminate.
6. Tegangan & Regangan (Stresses dan strains) in short-fibre composite
a. The shear lag model: stress and strain distribution, The stress transfer length, Transfer of normal stress across fibre ands, prediction of stiffness, onset of inelastic behaviour.
b. The Eshelby method: a missfitting ellipsoid, the equivalent homogeneous ellipsoid, the background stress, composite stiffnes.
7. Daerah antarmuka (the interface region)
a. Mekanisme ikatan: adsobsi & pembasahan (wetting), interdifusi & reaksi kimia, interaksi elektrostatik, mechanical keying, residual stresses.
b. Experimental measurement of bond strength: single-fibre pull-out test, single-fibre push-out & push down tests, other tests.
c. Kontrol pada Kekuatan ikatan (bond strength): coupling agent and enviromental effect, toughness-reducing coating, interfacial chemical reaction and diffusion barrier coating, the interphase regions.
8. Kekuatan Komposit
a. Model Patahan pada komposit long-fibre: Axial tensile failure, tranverse tensile failure, shear failure, failure in compression.
b. Kerusakan pada laminat di bawah off-axis loads: maximum stress criterion, other failure criteria, experimental data for single laminat.
c. Kekuatan Laminat: tensile cracking, interlaminar stresses, edge effect.
d. Failure of tubes under internal pressure: pure hoop loading, combined hoop and axial loading, netting analysis.
9. Ketangguhan pada komposit (toughness of composite)
a. Mekanika perpatahan: konsep dasar, interfacial fracture and crack and crack deflection.
b. Contributions to work of fracture: matrice deformation, fibre fracture, interfacial debonding, frictional sliding and fibre pull-out, effect of microstructure.
c. Sub-critical crack growth: fatigue, stress corrosion cracking.
10. Sifat Termal pada Komposite
a. Ekspansi termal dan thermal stresses: thermal stresses and strains, thermal expansivities, thermal cycling of unidirectional composite, thermal cycling of laminates.
b. Creep: basic of matrice and fibre behaviour, axial creep of long-fibre composite, transverse creep and discontinuously reinforced.
c. Thermal Conduktion: heat transfer mechanisms, conductivity of composites, interfacial thermal resistance.
11. Fabrikasi
a. Komposit bermatrik polimer (PMC): liquid resin impregnation routes, pressurised consolidation of resin pre-pregs, consolidation of resin moulding compounds, injection moulding of thermoplastics, hor press moulding of thermoplastics.
b. Komposit bermatrik Logam (MMC): squeeze infiltration, stir casting, spray deposition, powder blending and consolidation, diffusion bonding of foils, physical vapour deposition (PVD)
c. Komposit bermatrik Keramik (CMC): powder-based routes, reactive processing, layered ceramic composite, carbon/carbon composite.
12. Aplikasi material komposit
a. Minesweeper hull
b. Sheet processing rolls
c. Helicopter rotor blade
d. Golf driving club
e. Racing bicycle
f. Diesel engine piston
g. Microelectronics housing
h. Gas turbine combutor can
i. Aircraft brakes.
Untuk lebih lengkapnya, silahkan klik SILABUS MATAKULIAH KOMPOSIT (A)

SILABUS MATAKULIAH MATERIAL KERAMIK & GLASS (TMT-614216)

Tujuan Instruksional Umum :
Pemahaman struktur dan bangun pada material keramik dan hubungannya dengan sifat fisik dan sifat kimia serta makroskopisnya.

Tujuan Instruksional khusus :
a. Mampu menjelaskan pengertian dan kegunaan keramik
b. Mampu meramalkan macam-macam ikatan dalam bahan keramik
c. Mampu memahami susunan atom dalam bahan keramik
d. Mampu menganalisa kekuatan patah, keporousan dan kekuatan lentur bahan keramik
e. Mampu menganalisa sifat, konduksi dan tegangan termal keramik
f. Mampu menjelaskan sifat konduktor, polarisasi dan dielektrisitas serta kemagnetan keramik
g. Mampu dan mahir mengklasifikasikan refraktori berdasarkan sifat keasaman, oksida dan bukan oksida
h. Mampu menjelaskan teknik pembuatan refraktori

Topik :
a. Pengertian dan kegunaan keramik (Sifat umum keramik & Gelas, jenis keramik dan aplikasi pasar, sejarah perkembangan keramik)
b. Konsep Dasar Keilmuan Keramik (Struktur & Ikatan atom dalam keramik, Binary compound, imperfection of ceramics)
c. Struktur Kristal (spinel, perovskite, Silikat, Mica, Clay, Pyroxene, Mullite, Zeolit, dll)
d. Diagram Fasa Keramik dan Glass (Gibb Phase Rules 1,2,3 Komponen, Konruen & Inkonruen)
e. Karakterisasai Material Keramik (Furnace, Karakteristik Struktur, Cacat, dan Dislokasi)
f. Struktur, Pembentukan, dan Sifat Glass (Pembentukan, struktur dan sifat, glass ceramic)
g. Proses Manufaktur Keramik & Glass (Pembuatan Serbuk, Sol-Gel, Platelet, Shaping & Forming)
h. Gelas Keramik & Gelas (Viscositas, cacat pada gelas, Pewarnaan Gelas, Precipitasi dan kritalisasi pada gelas)
i. Sifat mekanik bahan keramik, Sifat termal, Sifat listrik dan magnet, dll
j. Refraktori, Biokeramik, Keramik tradisional
k. (Kuliah Tamu: PT. Surya Toto Indonesia: Bpk. Sailarso, ST)

Untuk versi pdf-nya, silahkan klik SILABUS MATAKULIAH KERAMIK & GLASS (Kelas B)

Puisi Buya Hamka kepada M Natsir

Dipertengahan 1950 an itu…………

KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi

Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi

Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……!

( Puisi yg di tulis secara khusus untuk Pak Natsir,  pada tgl 13 Nov 1957 setelah mendengar uraian pidato Pak Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan islam sebagai dasar negara RI )
2 Th kemudian Pak Natsir pun membalas dengan Sajak untuk Buya Hamka,

DAFTAR

Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur

Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *

Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959

Mohammad Natsir, Satu teladan yang jarang

Hidupnya tak terlalu berwarna. Apalagi penuh kejutan ala kisah Hollywood: perjuangan, petualangan, cinta, perselingkuhan, gaya yang flamboyan, dan akhir yang di luar dugaan, klimaks. Mohammad Natsir menarik karena ia santun, bersih, konsisten, toleran, tapi teguh berpendirian. Satu teladan yang jarang.

DIA, Mohammad Natsir (17 Juli 1908–6 Februari 1993), orang yang puritan. Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Hidupnya tak berwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tarik sendiri. Karena Indonesiasekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemim­pinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.

Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, ­Ge­orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesiapada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.

Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontempo­rer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas ­misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam ­moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi­ ini memimpin Dewan Dakwah­ Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.

Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.

Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pe­ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalis­me-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.

Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya ”bertemu” lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.

Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang­an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.

Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.

Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Paratokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik peng­ikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.

Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemahlembut­annya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Adaketeladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber­sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang­an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edi­si ini.

Sumber :
“Sebuah Pemberontakan tanpa drama”, Laporan UtamaMajalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

diambil dari:

http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2010/07/mohammad-natsir-satu-teladan-yang.html

Jangan Hubbud-Dunya…! : Pesan Buya Mohammad Natsir

Antara tahun 1986-1987, sejumlah cendekiawan seperti Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S. Anshari — melakukan wawancara intensif dengan Dr. Mohammad Natsir. Mereka menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif. Berulang-kali wawancara dilakukan. Sayang, hasil rekaman wawancara itu kemudian tidak terselamatkan. Dokumen yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman, berjudul Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989).

Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena merekam pemikiran dan pesan-pesan perjuangan Dr. Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir memang dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam, yang pada 7 November 2008 diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Kiprah M. Natsir dalam perjuangan Islam dikenal secara luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar Generasi itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak pemikiran penting yang bisa dipetik dari seorang M. Natsir, yang ketika itu sampai pada tahap-tahap kematangan pemikirannya.

Ketika ditanya oleh para kadernya tentang penyakit yang paling berbahaya bagi umat Islam dan bangsa Indonesia saat ini, Pak Natsir dengan tegas mengatakan: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lalu, ditambahkannya: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”

Dan memang, penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) itulah salah satu sumber kehancuran utama umat Islam. Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.” (HR Hakim dan Tirmidzi).

Di tengah berbagai kesulitan dan tantangan dakwah yang berat saat ini, pesan Pak Natsir itu perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika penyakit ini sudah menggejala, maka pasti kehancuran menanti umat. Di bidang apa pun. Penyakit hubbud-dunya (gila dunia) berawal dari penyakit iman, yang berakar pada persepsi yang salah bahwa dunia ini adalah tujuan akhir kehidupan. Akhirat dilupakan. Akhirnya, jabatan dan harta dipandang sebagai tujuan; bukan sebagai alat untuk meraih keridhaan Allah.

Islam tidak memerintahkan umatnya meninggalkan dunia. Tapi, umat Islam diperintahkan untuk menaklukkan dunia, untuk meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Dunia dan seisinya adalah amanah Allah. Semua akan dipertang-gungjawabkan di hadapan Allah di akhirat. Semakin tinggi jabatan, kedudukan, dan semakin banyak nikmat yang diterima seseorang di dunia, maka semakin berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Karena itu, sangatlah bodoh orang yang siang malam sibuk mengejar dunia demi tujuan-tujuan kepuasan dunia semata. Wallahu A’lam.

Sumber :
Jangan Hubbud Dunya…!, Ust. H Adian Husaini,http://www.dewandakwah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=252&Itemid=31

Diambil dari: http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2010/07/jangan-hubbud-dunya-pesan-buya-mohammad.html

Politisi Islam, Belajarlah pada Kesederhanaan Natsir

Politisi Islam, Belajarlah pada Kesederhanaan Natsir

Ketika diangkat menjadi Perdana Menteri RI September 1950, ia tinggal di sebuah gang

Oleh: Nuim Hidayat, MA  

MOHAMMAD Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993.  Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya.  Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan.

Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 – 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951).

Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Tahun 1945, ia tercatat sebagai anggota, sementara ketua Masyumi saat itu adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Tahun 1949, Natsir menjadi ketua, sebagai  presiden partai adalah Dr. Sukiman (struktur partai berubah). [Lihat buku Deliar Noer,Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Pers, 1987, hal. 100-105]

Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967.  Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur-Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya.  Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.

Saat remajanya, dia digambarkan bagus oleh penulis Ajip Rosidi, bahwa setelah lulus AMS (Algemene Middelbare School/setingkar SMA), Natsir telah hidup mandiri.  Ia tidak mau bekerja di pemerintahan.  Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F. 130; harga beras saat itu tidak sampai F. 0,05/lima sen satu kilogram). Natsir juga tidak merasa sreg untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum (RH) di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, meskipun kesempatan beasiswa terbuka lebar.

”Aneh!” kata Natsir hampir tiga puluh tahun kemudian (1958) dalam suratnya kepada istri dan anak-anaknya tatkala mengenangkan lagi saat ia berhasil mencapai cita-cita yang sudah lama diidamkannya sendiri, dan yang juga diharap-harapkan oleh ayahbundanya selama ini, yaitu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pelajaran setelah tamat AMS sehingga jalan untuk menyandang gelar ”Mr” terbuka. ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain.  Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung.  Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya.  Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”

Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan:

”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam.  Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.

Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”

Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke universitas-universitas terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir. Dia mencari ilmu bukan untuk ”tujuan-tujuan mencari keuntungan duniawi”, bukan untuk menjadi pegawai negeri, dan sebagainya. Dia mencintai ilmu. Dia menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itulah Natsir tidak tergiur dengan berbagai tawaran pekerjaan yang sangat menguntungkan pribadinya.

Natsir kemudian memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hassan. Siang hari, bersama A. Hassan, Natsir bekerja menerbitkan majalah ”Pembela Islam”.

Malamnya, dia mengaji al-Quran dan membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris.  Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs).  Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Di  sekolah Pendidikan Islam inilah, para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah.

Pilihan Natsir terkadang menghadapkannya pada situasi sulit. Dalam surat-suratnya kepada anak-anaknya saat dalam kondisi gerilya di hutan Sumatera Barat, Natsir menceritakan secara rinci kiprahnya dalam mengelola Pendis ini. Natsir bukan hanya mengkonsep kurikulum, mengajar, mengelola guru-gurunya, tapi Natsir juga harus berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, menurut Natsir, kadang dia harus menggadaikan gelang istrinya. Para siswanya juga diajar hidup mandiri agar tidak bergantung kepada pemerintah.

Di samping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir  juga terus menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri,  menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang biasa dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran karya Sayyid Quthb, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan.

Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan dalam  pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya.

Setelah disisihkan dari dunia politik di masa Orde Baru, Natsir kemudian benar-benar mengoptimalkan peran dakwah dalam masyarakat melalui lembaga dakwah yang didirikannya bersama berbagai tokoh Islam, yakni Dewan Da’wah Islamiyah  Indonesia.

Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya.  Ia tidak aji mumpung memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang.

“Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.

Ketika diangkat menjadi Perdana Menteri RI September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Natsir juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong.

Tak Malu menegakkan Syariat Islam

Natsir juga satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Tepatnya 21 Maret 1951, Natsir menyerahkan jabatan dan mengembalikan mobil dinasnya. Ia berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah dinasnya di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir kemudian segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.

Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.  Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat.  Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan.

Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi.

“Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah,” demikian ujar M Natsir.[ Mohammad Natsir dalam Feith, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 75.]

“Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu.  Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia.  Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual,” tambah Natsir.

Bisakah para politisi Islam yang ada saat ini bisa belajar dalam sikap dan tindakan sebagaimana tokoh Masyumi itu?

Penulis adalah Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Depok

Rep: –

Editor: Cholis Akbar

artikel ini diambil dari: http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/03/13/5462/politisi-islam-belajarlah-pada-kesederhanaan-natsir.html

Fatwa Keemasan Buya Natsir tentang Negara, Agama dan Theistik Demokrasi

Mukaddimah

Akhir-akhir ini, penomena ‘pencideraan’ Islam melalui pemikiran begitu nampak di permukaan. Ini dilakukan oleh tren fanatisme pemikiran yang menghasilkan sikap ekstrim dalam beragama. Ini, secara tidak langsung, telah menghambat simultansi dakwah untuk membangun peradaban Islam yang lebih kokoh dan bermartabat. Tren Fanatisme tersebut sekurang-kurangnya terbagi ke dalam dua model, rasionalis-liberal dan reformis-revivalis . Yang pertama melandaskan pemikirannya pada konsep keilmuan asing (baca: Barat) sehingga menghasilkan ide-ide rasionalisasi dan liberalisasi agama Islam. Pada gilirannya, Islam sepertinya mau dijadikan agama yang bernasib sama seperti di Barat pada abad pertengahan lalu. Alih-alih ingin melakukan intrepretasi Islam dalam rangka kontekstulisasi, justru, yang terjadi adalah, meminjam istilah M. Natsir, “likuidasi” Islam.

Sedangkan yang kedua, aktivismenya menyandarkan pada cara penafsiran teks-teks wahyu dan hadits dengan rigid dan ‘apa adanya’ serta kurang bijaksana membaca realitas sosial. Sikap yang terakhir ini setidaknya telah memperlebar kesenjangan antar umat Islam karena semangat puritanisme (pemurnian aqidah) yang, dalam metode dakwahnya, kaku dan “beringas” sehingga menimbulkan image keras serta kurang mampu berkomunikasi dengan modernitas. Bahkan pola takfir terhadap orang atau sekelompok orang yang berselisih faham menjadi ciri khasnya. Secara diametral, faham Rasionalis-liberal dan Reformis-revivalis memiliki arah yang bersinggungan. Masing-masing berada pada dua sisi kutub yang berlawanan dan berdampak pada kerancuan dan perselisihan serta disintegrasi dalam tubuh umat yang hampir sulit terelakkan.

Gambaran di atas menuntut para cendikiawan Muslim untuk segera mengambil sikap pro-aktif dan tegas terhadap kedua model fanatisme dan ekstrimisme tersebut. Adalah Mohammad Natsir, seorang cendikiawan Muslim yang masa hidupnya syarat aktivitas dakwah yang membawa umat pada keshalihan, tidak saja dalam bersikap, tapi yang tak kalah penting adalah dalam berpikir. Ketokohan sang pendiri DDII ini patut dijadikan role model dalam berdakwah dan berislam di kehidupan sosial. Sikapnya yang tegas dalam hal Aqidah dan santun dalam bermuammalah menjadikannya sebagai orang yang sangat diperhitungkan dalam sejarah keislaman dan kemerdekaan Indonesia. Makalah ini mencoba untuk menunjukkan bahwa solusi dari problematika umat Islam adalah melakukan reorientasi pemikiran Islam dengan mengacu kepada pemikiran keagamaan, kenegaraan, dan konsistensi Mohammad Natsir dalam berdakwah.

Karir Intelektual dan Pergerakan M. Natsir

Mohammad Natsir yang memiliki nama pena Muchlish lahir dari seorang ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu Khadijah pada 17 Juli 1908 di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat. Natsir memulai pendidikan dasarnya di Holland Inlandse School (HIS) pada tahun 1916-1923 dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1923-1927 di Padang Sumatera Barat. Mulai mengenal dunia pemikiran dan pergerakan pada saat Natsir melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS setingkat SMA sekarang) di Bandung selama tiga tahun (1927-1930).

Pendidikan agamanya ia dapatkan dari luar lembaga-lembaga pendidikan formal. Paginya ia sekolah sedangkan pada sore dan malamnya ia gunakan untuk menimba ilmu agama. Semua ini ia lakukan semenjak sebelum kepindahannya ke tanah Sunda, kota Bandung. Di sana ia bertemu seorang tokoh pergerakan Persatuan Islam (PERSIS) Bandung, A. Hasan. Selanjutnya, tokoh PERSIS inilah yang memengaruhi pemikiran Natsir seputar keilmuan agama Islam. Kedekatan M. Natsir dengan A. Hasan dapat dicermati dari keikutsertaannya menjadi redaksi majalah Pembela Islam yang dikomandoi oleh A. Hasan sendiri. Keakraban Natsir dengan tokoh pembaharu ini telah membuatnya concern terhadap dunia Islam. Dari sinilah keinginan berjuang melalui jalur dakwah terus membara hingga pada perjalannya Natsir mendapati rintangan dan ujian yang tidak ringan. Dari sini pulalah Natsir memulai karir intelektual dan organisasinya dengan menjadi seorang negarawan, pendakwah, pendidik, pemikir, sekaligus politikus.

Aktivitas pergerakannya, selain ambil bagian di PERSIS, Natsir juga aktif di sebuah himpunan pemuda Muslim bernama Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung di bawah bimbingan Agus Salim. Di dalam organisasi ini, menurut Dadan WA, Natsir termasuk orang yang beruntung karena menjadi orang yang mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim. Sebelumnya Natsir juga mewarisi pemahaman agama Islam dari A. Hasan. Selain kedua tokoh tersebut, pemikiran Natsir terinspirasi pula dari beberapa gurunya seperti Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto, dan AM. Sangaji. Mereka semua adalah para tokoh pembaharu Islam di tanah air yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir.

Interakasi Natsir yang sangat intens dengan beberapa tokoh di atas membuktikan bahwa ada kombinasi yang spektakuler antara jiwa keberagamaan dan kenegaraan yang kuat dalam diri Natsir. Sikap kenegarawanannya yang baik, membuatnya mampu mempersatukan kembali wilayah NKRI dengan Mosi Integralnya. Ini semua ia landasi dengan kapasitasnya sebagai seorang ulama. Karakter seperti inilah yang dibutuhkan umat jaman sekarang, ia mampu menjadi seorang agamawan yang intelek yang mengerti dan memahami kebutuhan duniawi tanpa harus keluar dari pemahamannya yang komprehensif terhadap agama Islam. Bukan seorang intelek yang mengerti agama yang pada gilirannya agama hanya sebagai objek kajiannya sehingga berakhir pada sikap dualistis. Point penting dari karakteristik pemikiran tokoh yang bergelar Datok Sinaro Pandjang ini adalah, ia mampu mengamalkan sabda kanjeng Rasulullah Muhammad yang menyatakan bahwa umatnya lah yang lebih mengetahui urusan dunia tanpa harus merasa lebih tahu tentang urusan akhiratnya dari pada Rasulullah.

Karakter Pemikiran Keagamaan M. Natsir

Berpikir dalam Islam melibatkan potensi akal yang dengannya wahyu menjadi dasar aktivitasnya yang pada perjalannya melahirkan konsep berpikir Islami. Inilah yang menjadi archetype pemikiran dalam Islam, ia tidak bebas dari nilai (free-value). Pemikiran sejatinya merupakan asas dari segala bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perekonomian sebuah negara akan maju apabila pemikiran pemimpinnya, yang selanjutnya melahirkan kebijakan-kebijkan ekonomi, memiliki keberpihakan kepada sektor riil dan rakyat kecil. Begitupun dengan bidang politik, sosial, dan budaya, semuanya tergantung kepada tipe dasar pemikiran yang dianut. Fakta menyebutkan bahwa kondisi umat Islam saat ini cukup memprihatinkan, jauh dari pengalaman peradaban Islam masa lalu yang superioritasnya disegani peradaban lain. Ini menunjukan bahwa umat Islam harus segera melakukan pembenahan mendasar yakni pembenahan pemikiran.

Hal ini lah yang diwanti-wanti oleh seorang pakar peradaban dan pemikiran Islam, Hamid Fahmy Zarkasyi. Ia menyebutkan bahwa biang dari sekian banyak persoalan yang timbul dalam bidang-bidang tersebut ternyata bersumber pada problem pemikiran, baik datang dari eksternal maupun internal umat Islam. Menurutnya, problem eksternal berupa asupan pemikiran asing (baca: Barat) ke dalam wacana pemikiran keagamaan Islam yang pada perjalanannya menghasilkan konsep liberalisme, sekularisme, pluralisme agama dan lain sebagainya. Adapaun problem internal berupa kejumudan, fanatisme, taqlid, dan bid’ah khurafat yang pada gilirannya mengakibatkan “lemot” dan sembrono-nya proses ijtihad dalam merespon tantangan kontemporer dan tumbuh suburnya harokah-harokah (aktivisme) yang megatasnamakan madzhab tertentu.

Kedua problem tersebut dapat ditemukan jawabannya pada pemikiran keagamaan M. Natsir. Ia yang berlatarbelakang pendidikan agamanya di PERSIS dan pergerakan pemuda JIB mampu menghalau pemikiran-pemikiran dengan kecenderungan westomaniak yang rasionalis-liberal sekaligus fanatisme yang mengarah kepada ekstrimisme dalam beragama. Latarbelakang Natsir, sebagaimana dijelaskan di atas, setidaknya telah membawanya sebagai seorang tokoh yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di segala lini kehidupan, termasuk politik dan penerimaannya terhadap negara demokrasi berdasarkan Islam. Suatu hal yang sangat tidak direstui oleh mereka yang anti-agama (sekular) begitupun oleh mereka yang anti-demokrasi yang diklaim sebagi produk kafir. Inilah salah satu bukti bahwa beliau berada pada sikap I’tidal (tengah) yang menurut Al-Qaradhawi sebagai ciri khas sikap Islam.

Bagi Natsir, Islam adalah agama yang telah jelas membagi wilayah mana yang boleh dan tidak boleh dipikirkan oleh umatnya. Natsir memanfaatkan akal merdekanya tapi tidak untuk mengakali (baca: rasionalisasi) agamanya, dan mematuhi wahyu ilahi tapi tidak sama sekali menafikan keberadaan akal. Dalam bukunya Islam dan Akal Merdeka, Natsir mengkritik cara berpikir Barat sekaligus cara berpikir fanatis dengan menyebutnya sebagai kuman-kuman yang harus dibersihkan dari dalam tubuh umat. Untuk merespon pola pikir tersebut, Natsir memegang prinsip (qaidah ushuliyah) yang mengatakan bahwa dalam urusan keduniaan semua boleh kecuali yang terlarang dan dalam urusan agama semua terlarang kecuali yang diperintahkan. Untuk masalah keduniaan, Natsir mengatakan:

“Dalam urusan keduniaan yang 100% ini yang mungkin sudah ada dan mungkin akan timbul belakangan, -semua itu boleh, kecuali yang sudan terlarang oleh agama. Yang terlarang itu amat sedikit, bila dibandingkan dengan yang boleh. Dengan demikian maka akal memiliki ruang gerak yang amat luas. Bukan saja ia dibolehkan, malah disuruh, … malah digemari oleh agama memegang inisiatif untuk kebaikan dan keselamatan kita”

Sedangkan masalah agama, ia mengatakan:

“Tak ada hak kita mengubah, menambah atau menguranginya, dengan akal kita sendiri. Di bidang ibadah ini, semua terlarang, kecuali yang sudah disuruh”
Dari pernyataan di atas, Natsir ingin menjelaskan bahwa ada batas embarkasi yang jelas yang harus ditaati oleh setiap intelektual muslim ketika bebicara masalah wacana pemikiran keagamaan. Ada hal-hal yang bersifat Tsawabit (tetap) dan Mutaghayyirot (berubah-ubah). AdaAda bidang Tauhid yang sudah jelas ketetapan perintah-perintahnya, ada pula bidang Mu’ammalah yang meniscayakan kreativitas dan inisiatif seorang muslim menuju kelebihbaikan.

Karakter pemikiran M. Natsir ini tidak terbatas pada retorika saja, melainkan terejawantahkan dalam kehidupan sosialnya dalam beragama, berpolitik, dan bernegara. Natsir tidak sungkan-sungkan duduk dan berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh komunis sekalipun yang jelas tidak beragama (atheis).

a. Toleransi Beragama tidak harus jadi Pluralisme Agama

Bebicara masalah respon Islam terhadap fenomena heterogenitas agama telah menjadi ajang perdebatan yang hampir tak berujung, khususnya pasca keruntuhan menara kembar WTC 9/11 yang lalu. Banyak orang Barat, bahkan orang muslim sendiri, yang sekeptis terhadap Islam, dengan menyatakan dan mengakui bahwa Islam adalah agama ekstrim dan intoleran. Yang paling mencengangakan dari pemikiran-pemikiran mereka adalah ide liberalisasi Islam dengan mengusung konsep Pluralisme Agama. Yang diinginkan dari ajaran ini adalah mencoba mendudukkan konsep kebenaran dalam Islam sejajar dan bahkan sama dengan konsep kebenaran dalam agama-agama lain. Pluralisme Agama ini muncul dari cara berpikir relativisme, bahwa semua kebenaran adalah relatif termasuk kebenaran agama. Bahwa satu agama tidak berhak mengklaim kebenarannya secara sepihak (truth claims) yang, menurut faham ini, dapat mengakibatkan penindasan dan bahkan peperangan atas nama agama. Situasi seperti ini, menurut Hamid, merupakan proses peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam ke dalam arus pemikiran Barat.

Menghadapi realitas keberagaman tersebut, Natsir punya pengalaman tersendiri berhadapan dengan orang yang melakukan kontekstualisasi Islam dengan melakukan interpretasi (penafsiran ulang–pen). Ia mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak lebih dari upaya “likuiadasi” (peleburan–pen) agama Islam dengan agama lain. Ia dengan tegas menyatakan ketidaksepakatannya atas ide-ide penyamaan agama-agama hanya karena ingin mengedepankan sikap toleransi. Toleransi baginya tidak harus meleburkan diri ke dalam agama-agama yang berbeda seperti yang dilakukan oleh para penganut theosofie. Tapi tidak pula harus menjauh dan bersitegang dengan komunitas agama-agama lain (intoleransi), justru seorang muslim harus mampu berkomunikasi dengan mereka. Semua ini beliau buktikan, salahsatunya, ketika kedekatannya dengan seorang tokoh sekaligus ketua Partai Katolik, IJ. Kasimo, dalam urusan kenegaraan dan menghadapi prilaku opensif PKI di jaman Sukarno.

Pemikiran Natsir tentang toleransi dapat dilacak dalam beberapa tulisannya yang menyatakan bahwa toleransi dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an. Ia menambahkan bahwa toleransi tersebut tidak bersifat pasif tapi aktif memperjuangkan kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja, akan tetapi juga bagi agama-agama lain. Natsir menegaskan :
“Al-Qur’an dengan demikian mengajarkan kepada penganutnya agar menghargai dan menjunjung tinggi keyakinan dan pendirian sendiri dengan sungguh-sungguh, yang disertai menghargai hak pribadi orang lain untuk berbeda paham dengannya.”
kemudian, tambah Natsir:

“Ini adalah setinggi-tingginya bentuk toleransi, yang umat manusia kini masih dalam memperjuangkannya di dalam negara-negara modern sekarang ini.”

Makna lain dari “toleransi aktif” dalam pandangan Natsir, selain memperjuangkan kemerdekaan beragama, adalah dakwah ke jalan kebenaran Islam. Berangkat dari pedoman Al-Qur’an , “tiada paksaan dalam agama”, Natsir memaknai toleransi aktif dengan mengajak dan memanggil (dakwah) siapa saja yang berbeda faham atau agama untuk beriman kepada Allah SWT Yang tiada Tuhan selain-Nya dengan syarat bersih dari sifat memaksa. Dalam hal ini M. Natsir senantiasa mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya adalah tentang cara-cara berdakwah yang santun, sopan, dan teratur, yakni: “ad-da’wah bi Al-Mau’idhoh Al-Hasanah wa al-Mujadalah bi Al-Lati hiya ahsan” (berdakwah dengan kebijakasanaan dan berdebat dengan santun).

Dengan begini, menurut Natsir, Islam yang rahmatan lil-alamin dapat dirasakan pula oleh kelompok atau golongan lain di luar Islam. Untuk mendukung atas terwujudnya toleransi dalam Islam, Natsir memberikan langkah-langkah konstruktif sebagai berikut:
a. Memahami ajaran Islam bagi diri masing-masing dengan sungguh-sungguh
b. Menjadikan ajaran ini sebagai pakaian hidup: dalam berkata, bertindak, dan berlaku
terhadap masyarakat di kelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut.
c. Memancarkan pengertian ini di sekelilingnya dengan tidak membelakangkan agama dan
kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan.

Sebagai bentuk kemantapan hati atas ajaran tasamuh (toleransi) dalam Islam dan sikap demokratis, Natsir seringkali, dalam tulisannya, menantang masyarakat untuk menunjukkan ideologi mana yang mampu melampaui ketegasan konsep toleransi Islam.

b. Demokrasi Teistis, bukan Teokrasi juga bukan Sekuler

Dalam konteks keindonesiaan, tantangan partai politk Islam berasal dari dua arah yang berlawan, eksternal dan internal sekaligus. Tantangan eksternal berupa gerakan sekularisasi yang menghajatkan keterpisahan antara urusan duniawi dan ukrawi. Sedangkan tantangan internal bergerak dalam bentuk penolakan terhadap sistem kekuasaan Demokrasi yang, menurutnya, partai-partai Islam terlahir dari rahimnya. Penomena di atas setidaknya telah menghambat agenda dakwah yang menjadi strategi partai-partai Islam dalam menghadapi realitas sistem demokrasi di Indonesia. Bermunculannya partai-partai Islam di tengah kancah perpolitikan tanah air, sejatinya merupakan solusi logis untuk membawa umat keluar dari perangkap keterpurukan. Paling tidak inilah gambaran singkat situasi perpolitikan di negara kita.

Sebagai tokoh negarawan yang mencintai tanah airnya, Natsir memiliki pandangan politik yang dikenal santun dan bermartabat. Karakter keberagamaannya tidak membuat Natsir memisahkan diri dari “taqdir demokrasi” sebagai realitas politik RI saat itu. Jihad politiknya mengangkat nilai-nilai Islam sebagai dasar negara ia lakukan melalui jalur-jalur demokratis. Menjadi seorang ketua partai Masyumi (1949-1958), akomodatif terhadap Pancasila, setia kepada Proklamasi, dan concern terhadap konstitusi negara adalah stategi dakwah Natsir di dunia Politik. Sikap politik Natsir tersebut, selain tidak membuatnya setuju dengan gagasan sekularisasi politik, juga tidak ada bertujuan untuk membangun negara dalam bentuk teokrasi (negara agama). Menurutnya, sekularisme merupakan “paham, tujuan dan sikap hanya dalam batas hidup keduniaan” , sedangkan teokrasi adalah “suatu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan) yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat) dan menjalankan pemerintahan bagi wakil Tuhan di dunia.”

Prihal penolakannya terhadap negara sekuler (la ad-diniyyah), menurut penulis, justru lebih serius ketimbang ketidaksetujuannya mendirikan negara teokrasi yang, menurut Natsir, tidak dikenal dalam ajaran Islam. Seraya mengutip pendapat Rauschning, Natsir menjelaskan bahwa dampak dari sekularisme adalah munculnya sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntunan-tuntunan adab (nilai-nilai hidup) dan mengenyampingkan ajaran-ajaran agama.

Yang Natsir inginkan adalah sebuah negara demokrasi yang berlandaskan pada ajaran agama Islam seperti istilahnya yang terkenal Teistik Demokrasi. Istilah ini pertama kali ia sebutkan pada saat sidang Majelis Konstituante, 12 November 1957 . Ini menggambarkan, menurut Sarifuddin HA, bahwa gagasan-gagasan Natsir tentang Islam dalam bernegara dapat menerima kaidah-kaidah sekular (reason, institution, experience), lalu Islam melengkapinya dengan wahyu.

Tapi perlu dicatat, bahwa sikap yang ditampilkan Natsir tersebut bukan berarti berangkat dari ketidakpahamannya atas sejarah kemunculan slogan Demokrasi. Secara historis, demokrasi tetap identik dengan liberalisme Barat yang memosiskan suara rakyat tak ubahnya suara Tuhan (vox populi vox dei). Apa yang dilakukan Natsir, menurut Bustanudin Agus , adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Islam tersebut dalam kehidupan bernegara agar tidak terjerumus kepada krisis yang diderita oleh masyarakat sekuler.

Termasuk sikap akomodatifnya terhadap dasar negara Pancasila bukan tanpa catatan dan syarat-syarat. Dalam ceramahnya pada peringatan Nuzulul-Qur’an, Mei 1954, ia mengatakan: “Pancasila adalah suatu perumusan dari lima kebijakan, sebagai hasil permusyawaratan antara pemimpin-pemimpin kita… . Ia, sebagai perumusan, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, kecuali kalau diisi dengan apa-apa yang memang bertentangan dengan Al-Qur’an”. Jadi, dukungannya terhadap Pancasila akan tetap dipertahankan apabila dalam proses perjalannya Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an yang melahirkan gerakan sekularisasi politik.

Dalam rangka politik dakwah, Natsir telah mengerahkan segenap potensi pemikirannya untuk memberikan contoh konkrit kepada generasi penerusnya untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dengan bijaksana dan bermartabat dalam konstalasi sosoal-politik. Natsir, sebagai idiolog sekaligus politikus muslim, tidak menceburkan diri terlalu dalam di dunia politik demokrasi tapi tidak pula menjauhkan diri terlalu jauh dari realitas kehidupannya, sebuah prinsip yang baginya sebagai point of no return. “Alam” inilah yang membuat Natsir dihargai dan disegani oleh lawan sekalipun.

Khatimah

Berdakwah dengan hikmah kebijaksanaan dan cara-cara yang baik (Al-Mau’idhoh Al-Hasanah) menjadi kata kunci kesuksesan dalam memenuhi tugas suci, amar makruf nahyu munkar. Sekalipun harus berdebat, berdebatlah dengan sebaik-baiknya perdebatan. Inilah yang dilakukan Mohammad Natsir dalam mengarungi aktivitasnya sebagai seorang agamawan sekaligus sebagai negarawan yang baik. Pemahamannya yang holistis terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam telah membuatnya terpanggil untuk ikut andil dan berperan mempersatukan kembali NKRI dari keterceceran yang mengancam keutuhannya. Tidak berhenti sampai di situ, karya-karya Natsir pun ternyata tidak saja dirasakan di dalam negeri, akan tetapi di dunia Islam internasional. Terbukti dari keterlibatannya dalam ormas-ormas Islam internasional.

Sikap M. Natsir yang tidak “kekiri-kirian” dan tidak “kekanan-kanakan” membuatnya dapat diterima oleh setiap kalangan. Kondisi seperti ini Natsir manfaatkan untuk melakukan infiltrasi dakwah dan menyatukan umat. Inilah cara Natsir membangun peradaban dengan ilmu pengetahuan tidak dengan emosional atau rasional saja, tapi memberdayakan setiap potensi yang dimilikinya. Wal-hasil, walaupun sampai sekarang cita-cita Natsir belum sempurna terwujud, adalah tugas generasi penerusnya untuk melanjutkan perjuangannya. Semoga, dengan adanya DDII yang telah didirikannya sejak 1967, perjuangan Natsir bisa rampung dengan sempurna. Amin.

Sumber :

Negara dan agama di mata m natsir, sulaimanism, http://sulaimanism.multiply.com/journal/item/47

Diposkan oleh Pustaka Digital Buya Mohammad Natsir di 12.47

diambil dari: http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2010/07/fatwa-keemasan-buya-natsir-tentang.html

 

Mengenang 106 Tahun Mohammad Natsir, Bapak Pergerakan Islam Modern

Belasan tahun berpulang, Natsir masih dikenang secara khusus dalam ingatan banyak orang. Berikut ini beberapa petikan pengalaman sejumlah tokoh yang mengenal Natsir secara pribadi.

Lukman Hakiem, 51 tahun
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/bekas redaktur Media Dakwah)

Saya mengenal Natsir ketika saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta pada 1983. Saya sering berkunjung ke kantornya di Dewan Dakwah di Jakarta. Ada beberapa kejadian yang selalu muncul dalam kenangan saya manakala saya mendengar namanya.

Pernah dia memarahi saya habis-habisan. Ini terkait dengan tulisan saya di majalah Kiblat. Untuk menarik pembaca, kami membuat laporan mengenai Al-Quran. Di sampul majalah, kami menulis judul: ”Al-Quran Ditinjau Kembali”. Ketika itu Pak Natsir berusia 79 tahun.

Ditinjau di sini maksudnya dibaca kembali. Saya berusaha menelepon untuk menjelaskan secara langsung, tapi telepon diangkat orang lain. Lalu Pak Natsir menelepon saya dan mengatakan, ”Tidak ada bincang-bincang!” Telepon ditutup. Saya berpikir, ”Habis nih, saya.” Ternyata kemarahannya tak berlanjut.

Selanjutnya adalah perdebatan panas yang berakhir obrolan santai. Ini terjadi ketika saya bekerja di majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah. Suatu ketika, dia mengirimkan memo kepada pemimpin redaksi. Pak Natsir meminta majalah ini tidak memuat tulisan seseorang karena isinya dinilai bermasalah. Ini terjadi sekitar 1992.

Saya protes dan mendatangi rumahnya. ”Apa bedanya Anda dengan Soeharto yang melarang penulisan?” Pak Natsir balas mendebat hingga menunjuk-nunjuk saya. Ini berlangsung sekitar setengah jam. Terkadang dia memukul meja di ruang tamu.

Meski alot, saya sebagai bawahannya tidak diusir, apalagi dipecat. Kami sepakat tak ada titik temu. Lalu kami alihkan pembicaraan ke topik lain. Dan dia bisa mengobrol dengan relaks bahkan tertawa. Pak Natsir mengantar saya sampai ke teras ketika saya pamit.

Chris Siner Key Timu, 68 tahun
(Penanda tangan Petisi 50)

Saya kenal Mohammad Natsir sebagai pelaku sejarah, sebagai mantan perdana ­men­teri, pengusul Mosi Integral yang menyelamatkan terpecah­nyaIndonesia. Kemudian ia menentang komunisme sehingga bentrok dengan Soekarno.

Sikap kritis terhadap pemerintah tetap ia perlihatkan di masa Orde Baru.

Kami bersama menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980, yang isinya mempertanyakan pernyataan Presiden tentang asas tunggal. Pak Natsir selalu hadir dalam diskusi di rumah Ali Sadikin. Saya melihat dia gigih, tidak berjuang untuk kebanggaan dan kebesaran dirinya.

Hidupnya sederhana sekali. Hal itu ditularkan kepada kami yang muda-muda. Kalau berdebat amatlah santun. Tidak membalas kata-kata kasar. Saya tak pernah mendengar dia memaksakan pandangan, misalnya soal Islam. Dia mengirim bunga ke rumah saya kalau Natal, saya ke rumahnya setiap Lebaran di Jalan Cokroaminoto di Menteng, Jakarta Pusat.

Mohammad Chudori, 83 tahun
(Bekas wartawan Antara dan Jakarta Post)

Saya mulai berkunjung ke rumah Pak Natsir di Jalan Jawa 28, Jakarta Pusat, pada 1945. Waktu itu saya tinggal di Bogor dan menjadi salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam di sana. Rumahnya kecil, tapi penghuninya banyak sekali. Selain keluarga, ada sejumlah kerabat yang tinggal di sana. Saya menganggap rumah itu seperti rumah saya sendiri. Saya sering makan dan tidur di sana.

Sekitar 1948, saya menjadi letnan dua Tentara Keamanan ­Rak­yat dan melatih Laskar Hizbullah di Bogor. Setelah Sili­wangi­ hijrah ke Yogyakarta, Laskar masih menyimpan senjata. Waktu itu saya dihubungi utus­an Kartosoewirjo. Dia mengajak saya menjadi anggota Negara IslamIndonesia. Mereka ingin menguasai Laskar. Saya menjawab bahwa saya sudah dibaiat. Tapi utusan itu memaksa. Saya khawatir karena mendengar kabar ada kawan di Bandung ditembak karena menolak bergabung.

Saya pun menemui Pak Natsir. Dia dengan tenang menjawab, ”Hanya kamu yang bisa memutuskan mau bergabung dengan mereka atau tidak.” Saya akhirnya memutuskan tetap bersama Hizbullah dan Masyumi.

Herman Nicolas Ventje Sumual, 85 tahun
(Proklamator Permesta)

Saya pertama kali bertemu dan berkenal­an dengan Mohammad Natsir pada 1957 di Padang, Sumatera Barat. Ketika itu kami membicarakan rencana Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Selain kami, yang hadir ketika itu antara lain Sjafroeddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pertemuan ini berlangsung karena tidak ada kelanjutan dialog di Jakarta untuk menyatukan kembali dwitunggal Soekar­no-Hatta.

Dari persinggungan saya dengan Natsir, saya harus jujur mengatakan dia adalah sosok pemimpin bangsa.

Setelah itu, saya tidak banyak berhubungan dengan dia hingga kemudian kami bertemu kembali dengan status tahanan setelah Jakartamemberangus pergolakan. Kami ditempatkan di Rumah Tahanan MiliterJakarta. Saya ­ingat pada setiap akhir tahun masing-masing tahanan berpidato. Ketika gilirannya tiba, Natsir selalu mengucapkan: ”Mudah-mudahan ini pidato kita yang terakhir.”

Setelah peristiwa 30 September 1965, orang-orang Partai KomunisIndonesia bergabung bersama kami di tahanan. Setahun kemudian, 26 Juli, datanglah Adnan Buyung Nasution—yang ketika itu sebagai jaksa. Dia membawa surat dan mengumumkan kepada kami: ”Bapak-bapak mulai hari ini bebas.”

Amien Rais, 64 tahun
(Bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat)

Pertama kali mengenal Natsir secara pribadi setelah 1980-an. Saya sering ke rumahnya di Menteng, ke Masjid Munawwarah di Kebon Kacang, kemudian Dewan Dakwah di Gang Kramat, Jakarta Pusat. Di rumahnya terpampang potongan ayat terakhir surat Al-Ankabut, yang menyerukan manusia berjuang ikhlas di jalan Allah. Saya kira ini yang men­jadi dorongan se­mangat dia ­berjuang.

Jauh sebelum kenal dekat, saya sudah akrab dengan namanya. Kebetulan ibu sa­ya pengagum Natsir. Suatu ke­tika Natsir datang ke Solo ada ra­pat Masyumi. Saya bangga sekali karena saya membacakan Al-Quran dalam acara tersebut. Ketika itu saya kelas VI sekolah rakyat. Toh, ibu saya sempat kecewa melihat Natsir memegang gelas dengan tangan kiri. Rupanya di mata Ibu, Natsir harus sem­purna.

Pada 1957, ketika saya kelas I sekolah menengah pertama, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Ibu mengatakan, kalau Natsir menang, kita pindah kePadang. Terpengaruh Ibu, saya mulai kagum kepada Natsir. Saya makin kagum ketika membaca buku karangannya, Ca­pita Selecta. Ia me­nguasai ilmu aga­ma dan pengetahuan umum yang luas.

Sumber :
“beberapa kenangan”, Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008

« Older entries